Ketika CIA Menggusur "Diktator Komunis" Maruli Tobing (Kompas, 9 Februari, 2001) TIDAK ada musuh permanen, kecuali kepentingan permanen. Itulah prinsip politik luar negeri AS. Mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos yang amat sangat dekat dengan Presiden AS terlarut dalam kekuasaan diktatornya yang panjang, hingga lupa prinsip politik luar negeri Paman Sam itu. Maka ketika ia terjungkal, juga oleh dukungan AS kepada oposisi, ia pun terperanjat harus melalui pemeriksaan bea cukai saat tiba di Bandara Hawaii. Lebih gawat lagi, di tempat pelariannya ini Ny Imelda Marcos, yang baru kemarin First Lady dan dipuja-puja pers lingkungannya, harus berlaku santun di depan petugas bea cukai yang menanyai asal-muasal perhiasan yang dibawa itu. Keterangannya yang meragukan membuat petugas itu memutuskan menahan perhiasan yang nilainya jutaan dollar AS. Esok harinya semua peristiwa ini muncul di jaringan media massa lokal, nasional, dan internasional. Rakyat Filipina tertawa girang melihat Imelda Marcos tunduk seperti pesakitan di depan tumpukan permata yang ditahan bea cukai. Sedang masyarakat dunia, termasuk tokoh-tokoh yang tadinya amat sangat ramah pada keluarga sang presiden, mencibir dan menyebut pasangan ini sebagai koruptor paling serakah di jagat ini. Marcos mengalami stres berat, sebelum kemudian sakit-sakitan. Tetapi, pengadilan AS, atas permintaan Jaksa Agung Filipina, tetap menyeretnya atas tuduhan korupsi dan pelanggaran HAM. Hingga saat terakhir, dalam kondisi diinfus di atas tempat tidur, Marcos tetap digiring mengikuti persidangan. Inilah Amerika Serikat sesungguhnya. Para "sahabat" di lingkaran Gedung Putih, kini seolah menemukan badut baru yang membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal, menyaksikan kondisi Marcos di persidangan melalui layar televisi. Marcos perlahanlahan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Tidak satu pun di antara "sahabat-sahabatnya" itu datang melayat. Milyaran dollar AS kekayaan Filipina yang dibagikannya dalam bentuk proyek kepada pengusaha maupun pejabat AS, ternyata bukan jaminan sebuah bangunan persahabatan. Bagi Gedung Putih, Marcos adalah masa silam. Sekarang muncul penggantinya, Cory Aquino, yang harus dirangkul. Marcos "jatuh" setelah empat jam pesawat yang membawa Philipp Habib lepas landas meninggalkan Filipina. Utusan Pemerintah AS ini memberi lampu hijau bagi kelompok Jenderal Ramos melakukan pemberontakan. Sebelumnya, Shah Iran yang menghamburkan milyaran dollar AS hanya untuk belanja peralatan perang, suatu industri utama AS, dan mengikuti keinginan Gedung Putih untuk tidak memberi sejengkal pun tempat perlindungan bagi pejuang Palestina, juga harus menanggung kecewa amat menyakitkan. AS menolak memberi tempat pelarian ketika Khomeini menumbangkannya dari tahta yang despotis itu. Dalam penerbangan meninggalkan negerinya menuju AS, tiba-tiba saja Gedung Putih menolak kehadirannya. Pesawat terpaksa putar haluan menuju Mesir, karena hanya negara inilah yang bersedia menerima dengan segala konsekuensinya. Tidak lama kemudian Shah Iran menghembuskan napas akibat komplikasi stres. Sejarah kekuasaan Shah Iran tidak dapat dilepaskan dari CIA. Berkat bantuan lembaga intelijen inilah kekuasaannya yang telah dipangkas parlemen, bisa dipulihkan kembali pada Agustus 1951 setelah militer menggulingkan pemerintahan PM terpilih Mossadegh. CIA menerapkan teori sindikalisme yang akrab dengan anarkisme. Melalui partai sayap kanan, Tudeh, yang didanai hingga 19 juta dollar AS, massa turun ke jalan mendesak parlemen yang demokratis. Tuntutan diikuti pengerahan massa, mendesak dikembalikannya kekuasaan eksekutif kepada Shah Iran. Rekayasa untuk menimbulkan bentrokan massa pendukung Mossadegh dengan Tudeh di jalanan Kota Teheran yang mengakibatkan 300 orang tewas, mengondisikan militer yang condong pada Shah Iran mengambil alih kekuasaan. Sejak itu AS mulai menancapkan bisnisnya di sektor perminyakan. Kermi Roosevelt, cucu Presiden Roosevelt, yang kala itu mengendalikan operasi CIA di Timur Tengah, tidak lama kemudian menjadi Wakil Presiden Gulf Oil. Inggris yang dibantu AS memulihkan kekuasaan Shah Iran, merelakan 60 persen sahamnya kepada perusahaan AS sebagai tanda terima kasih. Delapan perusahaan AS lainnya mendapat konsesi melakukan pengeboran minyak. Ketika Shah Iran berada di ujung tanduk Revolusi Islam yang begitu dahsyat, AS mencoba mendekati Khomeini, tetapi gagal. Ketika Pemerintah Islam ditegakkan, lagi-lagi AS mencoba mengambil hati dengan memberi daftar nama 200 agen-agen KGB di Iran. Pengawal Revolusi Iran menerimanya dan mengeksekusi semua agen KGB tersebut, tetapi hubungan dengan AS tetap haram bagi Teheran. Bahkan kemudian menyandera staf kedutaan AS. Kekejaman Savak, algojo Shah Iran yang dididik CIA, serta pengisapan kekayaan negeri ini, membuat pemerintahan Islam di Teheran muak melihat AS. Pada masa Perang Iran-Irak, AS kembali mencoba merangkul Iran dengan menjual peralatan militer. Sementara kepada Irak dijual foto-foto satelit konsentrasi Pengawal Revolusi Iran. Tetapi, pemimpin Irak lebih cerdik. Melalui pintu belakang, mereka membocorkan pembelian senjata itu, hingga publik AS geger. Penjualan senjata yang di luar sepengetahuan Kongres itu kemudian berubah menjadi skandal besar setelah Senat membentuk komisi pengusutan, karena ternyata melibatkan Presiden AS beserta jajarannya. Iran Gate dengan tokoh utama Letkol Oliver North adalah skandal terbesar masa itu. Uang hasil penjualan senjata itu dipakai membiayai kelompok gerilya Contra menggempur Sandinista. Dari lanjutan kasus ini pula terbongkar kegiatan CIA dalam perdagangan narkotik, kokain, untuk mendanai kegiatannya. Di Panama, CIA memborgol Presiden Noriega dan menerbangkannya ke negeri Paman Sam untuk diadili sehubungan kasus pelanggaran HAM dan perdagangan narkotika. Padahal sudah rahasia umum di Amerika Tengah bahwa Jenderal Noriega masuk dalam lingkaran CIA. Sedang mengenai bisnis narkotika, sesungguhnya bukanlah aib bagi CIA. Sejak 50 tahun silam, setelah berhasil mendorong mundur pasukan Koumintang ke arah selatan, memasuki perbatasan Myanmar Utara, CIA mendorong penanaman candu besar-besaran, yang kemudian berkembang menjadi segi tiga emas. Operasi CIA yang menghamburkan banyak uang, sebagian besar dipasok dari bisnis haram ini. *** PETUALANGAN AS kadang-kadang sulit dipahami akal sehat dan mirip wild west. CIA yang mirip negara dalam negara sangat berperan dalam politik luar negeri AS. Itu sebabnya perilaku politik AS selalu bermuka dua, seperti halnya intel. Contohnya, netralitas yang kerap didengungdengungkan, tetapi melalui pintu belakang justru meruntuhkan pemerintah yang dianggap netral. Bung Karno dan Pangeran Sihanouk adalah korban "netralitas" AS. Begitu pula Ali Bhutto, yang baru saja meninggalkan Kedubes AS untuk suatu acara, tiba-tiba ditangkap pasukan Jenderal Zia Ul'haq yang melakukan kudeta. Bhutto kemudian digantung. Banyak cara yang dilakukan AS melalui CIA untuk menegakkan "netralitas" dan "demokrasi". Tetapi, pola baku adalah menuding kepala pemerintahan itu sebagai "rezim teror komunis" yang membahayakan stabilitas kawasan. Ada beberapa contoh menarik sebagai perbandingan. Tahun 1951, misalnya, untuk pertama kalinya Guatemala memilih presiden secara demokratis sejak Spanyol hengkang tahun 1820. Presiden terpilih Jacobo Arbenz yang ingin memperbaiki standar hidup rakyatnya melalui land-reform, harus menelan pil pahit. United Fruit Company, perusahaan AS yang 10 persen lahannya akan terkena land-reform dan industrinya setengah dinasionalisasikan, ternyata punya hubungan dengan CIA. Menlu John Foster Dulles segera mengeluarkan pernyataan, rakyat Guatemala saat ini hidup di bawah pemerintahan teror komunis. Presiden Eisenhower menyebut Presiden Arbenz sebagai "diktator komunis". Ibarat rangkaian yang sudah ditata, Dubes AS di Guatemala lantas mengatakan, "Kita tidak mungkin membiarkan Republik Soviet didirikan antara Terusan Panama-Texas". AS kemudian membuat pakta pertahanan dengan Nikaragua, Honduras, dan Panama, serta menempatkan 30 pesawat terbang di sana. Tanggal 18 Juni 1953, pesawat terbang AS menyebarkan pamflet yang isinya tuntutan "pemberontak" agar Presiden Arbenz mundur. Bersamaan dengan itu radio gelap di kedubes AS menyiarkan tuntutan itu setiap hari, diikuti dengan berbagai berita dan analisa kebusukan Presiden Arbenz. Tidak lama setelah itu CIA mendistribusikan 100.000 pamflet gelap di bawah judul Kronologi Komunisme di Guatemala, tiga film tentang "kebusukan" Presiden Arbenz, dan lebih 27.000 copy poster yang menertawakan Arbenz. Pada April 1954, CIA mulai mempercepat iramanya. Sebuah pesawat terbang yang dimanipulasi dengan lambang Soviet, terbang rendah melintas Honduras, Nikaragua, dan Meksiko, sebelum masuk ke wilayah Guatemala. Kemudian pesawat AS mengebom wilayah Honduras yang berbatasan dengan Guatemala. Radio gelap AS serta koran-koran di bawah jaringannya, menyiarkan keadaan gawat. Pesawat Soviet mengedrop senjata bagi pemerintah "diktator komunis". Kemudian melakukan pengeboman terhadap pemberontak yang menentang kediktatoran itu. Situasi ini, ulas radio tersebut, mengancam stabilitas kawasan Amerika Tengah. Negara-negara tetangga Guatemala yang masuk pakta pertahanan AS mengajukan protes ke PBB, hingga akhirnya keluar resolusi mengutuk pemerintahan Arbenz. Dari sini mulai terbentuk opini dunia terhadap pemerintah yang sangat demokratis itu. Sementara itu, CIA terus menyiarkan propaganda mengenai kemenangan pemberontak, di samping memproduksi foto palsu kuburan massal dengan menyebutnya sebagai korban kekejaman rezim komunis Arbenz. Terakhir, CIA mengebom ibu kota, dan terusmenerus menyiarkan melalui radio bahwa pasukan pemberontak sudah hampir memasuki ibu kota dengan peralatan persenjataan berat dan dukungan Marinir AS. Padahal sesungguhnya pasukan pemberontak hanya menguasai beberapa desa, jauh di perbatasan. Dalam situasi panik demikian, Kolonel Castilo Armas, yang menerima 60.000 dollar AS dari CIA, melancarkan kudeta. Sejak itu land-reform dibatalkan, serikat pekerja dibubarkan, dan kebebasan pers diberangus. Dua puluh lima tahun kemudian, sesuai UU kebebasan mendapatkan informasi, dokumen CIA setebal 1.400 halaman mengenai perannya di Guatemala, terbuka pada publik. Rakyat Guatemala terperanjat begitu mengetahui isinya. Sementara itu tahun 1970, Salvador Allende yang terpilih juga dalam pemilu yang paling demokratis di Cile, menerima getirnya reformasi. Langkah pertama yang dilakukannya dengan mencabut hukuman mati, mengakui semua parpol, land-reform, dan terakhir nasionalisasi perusahaan tambang belerang AS, membuat gusar Gedung Putih. Melalui CIA, diproduksi pamflet, poster, dan dokumen palsu mengenai rencana jahat Allende untuk membangun komunisme. Di bawah pengendalian Deputi Direktur Operasi CIA, William Colby, yang sebelumnya sukses menjatuhkan Presiden Soekarno, CIA mulai melancarkan perang propaganda untuk mendiskreditkan Allende. Kemudian, seperti biasa, muncul foto kuburan massal di bawah judul korban kekejian diktator komunis Allende. Tahun 1973, di bawah nama sandi "Jakarta" terjadi pembunuhan seorang jenderal oleh pasukan yang sudah mendapat pelatihan dari CIA. Pembunuhan ini karena menolak tawaran melakukan kudeta. Tetapi, mesin-mesin propaganda CIA meniupkannya sebagai korban keganasan komunis diktator Allende. Jenderal Pinochet kemudian melakukan kudeta, mengeksekusi Allende dan ribuan warga. *** PULUHAN pemimpin pemerintahan di berbagai negara tersungkur oleh CIA. Metodenya hampir sama, yaitu diawali perang propaganda untuk mengondisikan citra negatif. Kemudian menyusul infiltrasi dalam tubuh angkatan bersenjata melalui berbagai program bantuan, mengadu domba militer-sipil, provokasi melalui insiden berdarah, baru disusul kudeta. Dalam beberapa kasus, jika memungkinkan, ditempuh jalan pintas. Seperti membunuh kepala negara atau pemerintahan bersangkutan. Tetapi, upaya ini kerap gagal, seperti pernah dua kali menimpa Presiden Soekarno dan 13 kali dialami Fidel Castro. Dalam aksi ini, yang paling digemari CIA untuk mengeksekusi adalah bom, granat, dan senapan mesin ringan. Patrice Lumumba, Presiden Kongo yang terpilih secara demokratis tahun 1960, mungkin contoh nasionalis paling sial. CIA pernah mengirim pakar mikrobiologinya, Dr Joseph Scheider, untuk menyebarkan virus bakteri yang akan membinasakan Lumumba. Ribuan orang tewas akibat penyakit aneh, tetapi Lumumba selamat. Terakhir CIA kembali ke pola standar dengan mendorong Jenderal Mobotu melakukan kudeta dan mengeksekusi Lumumba. *** MEMASUKI milenium ketiga, tidak bisa diramal apakah CIA masih menggandrungi pola lama tersebut. Jika ditarik pengalaman Indonesia dalam rentang waktu yang panjang, yakni sejak jatuhnya Bung Karno hingga lengsernya Soeharto, CIA tampaknya tidak ingin mengulangi metode yang sama di negara yang sama. Dalam penggulingan Bung Karno, misalnya, Indonesia berubah menjadi kolam darah-berbagai pihak memperkirakan angka tewas berkisar 500.000-satu juta jiwa-namun untuk Soeharto, CIA agak hati-hati karena menyimpan rahasia keterlibatan AS dalam G30S. Ketika Soeharto lengser, tidak satu pun terjadi pembersihan yang menelan korban jiwa. CIA tampaknya hanya mematangkan situasi dengan bantuan uang. Misalnya, saja antara tahun 1995-1997, sedikitnya 26 juta dollar AS bantuan CIA melalui lembaga penyelubungnya kepada LSM-LSM anti-Soeharto. Walaupun demikian, tidak ada pula salahnya mencurigai CIA ikut dalam peristiwa 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Dalam peristiwa biadab itu, seluruh gelombang komunikasi radio aparat keamanan tidak bisa digunakan. Kemampuan teknologi demikian hanya dimiliki CIA dan Mossad, intelijen Israel. Peristiwa Mei adalah skenario melengserkan Soeharto agar menyerahkan kekuasaan kepada militer. Dukungan AS mulai beralih ketika Soeharto makin kikir dalam membagi rezeki kontrak tambang dan berbagai proyek besar lainnya. Soeharto yang makin uzur, kembali ke bentuk alami, dengan mengutamakan bisnis putra-putrinya. Selain itu, ketika AS melakukan embargo senjata, Soeharto atas saran BJ Habibie dan kawan-kawan, mulai mencoba mencari peralatan militer di luar AS, termasuk ke Moskwa. Suatu hal yang membuat AS berang. Puncaknya adalah ketika Myanmar, atas desakan Soeharto melalui PM Mahathir, diterima sebagai anggota ASEAN. Padahal AS dan Masyarakat Eropa sejak lama melakukan embargo dan terus berusaha mengisolir Myanmar. Gedung Putih yang mengutus Menlu Albright melobi pemimpin ASEAN agar menolak Myanmar, tidak dipedulikan. Dengan begitu pula makin kuat tekad melengserkan Soeharto. Puncaknya ketika angin puting-beliung krisis ekonomi memporakporandakan benteng pertahanan Soeharto menjelang pertengahan 1997. Sekarang kita tinggal mencocokkannya di lapangan. Kalau hal ini juga tidak manjur, maka itu bisa dilihat dari siapa pejabat negara yang bermain dalam konflik internal dan kedekatan dengan salah satu korporasi multinasional AS serta pernah beberapa kali berkunjung ke negeri koboi itu. (mt) ooo0ooo | Top | © C o p y r i g h t 2 0 0 5 Edi Cahyono's Experience